RSS

1/31/2015

Dua Arah



Dia mulai was-was.
Sementara dia yang lain dengan buta mengejar angin yang membawanya ke antah berantah.
Dia tidak meninggalkannya, sekali-kali tidak ingin.
Dia juga ingin mengejarnya menggapai angin.
Namun, apa jua, ia sendiri tak tau apa itu angin.

Mereka tersesat dengan sekat setipis bulu.
Mereka terbelenggu akan rantai bak benang merah kusut.
Tidak ada kerenyahan tawa disana, hanya dingin menjalar yang menusuk pelopak mata memandang surya.
Kicauan manis selalu menjadi andalan untuk sejenak melipat buku kenyataan.
Mereka tersenyum kecut penuh tanda tanya.

Dia mulai menapak.
Sementara dia yang lain telah berada di seberang galaksi.
Dia ingin menunggunya meski harus mematahkan kaki yang memaksa menyeret.
Dia tidak tahu lagi arah tercepat mana untuk--setidaknya berada beberapa mil dari seberang galaksi.

Dia ingin, namun tidak tahu ingin itu sendiri apa.
Dia berlari, namun tidak lagi bisa berhenti meski kakinya telah patah.
Mereka hidup,
Dengan pena yang masih tergenggam. Buku kenyataan itu pun memaksa membuka sampulnya. 

0 komentar:

Posting Komentar