RSS

6/06/2014

Aku, Dia, dan Hujan





Jalanan yang basah pagi ini masih terlihat di beberapa tempat di sudut gang. Hujan deras yang turun kemarin malam telah sukses membuat genangan-genangan itu. Udara pun masih terasa dingin, meskipun ini sudah memasuki musim semi. Memang benar apa kata orang “musim dingin yang meleleh akan menjadi musim semi” dan tentu saja meleleh itu merupakan hujan yang memang sering datang pada saat pergantian musim dingin ke musim semi. Bagi beberapa orang, hujan mungkin tidak terlalu menganggu, kecuali kalau mereka turun saat jam pulang sekolah ataupun pulang kerja. Tapi, bagiku, kapanpun waktu pergantian musim ini datang, akan menganggu segala mood-ku. Aku menatap genangan sisa hujan kemarin yang berada di lapangan dari jendela kelas. Pandangaku kosong, tetapi sesekali alis mataku menajam melihat genangan itu.
“Kulihat, mood-mu akhir-akhir ini sangat buruk, Ame.” sapa salah seseorang saat aku akan memulai memakan bekal yang kubawa.
“Berhenti memanggilku dengan nama itu.” jawabku tanpa menoleh
“Kau selalu saja marah saat teman-teman memangilmu dengan nama Ame. Padahal menurutku itu nama yang bagus dan teman-teman lainnya juga pasti ingin menjadi lebih akrab denganmu dengan memanggil nama depanmu.” jawab Satsuki mengambil posisi duduk di depanku.
“Entahlah. Hanya saja berhenti memanggilku dengan nama itu.”
“Kau punya masalah dengan hujan, huh ?”
Aku hanya terdiam. Satsuki menghela nafas dan meninggalkanku.
Aku benar-benar aneh. Apa yang terjadi padaku sehingga aku sangat membenci hujan ? Padahal namaku sendiri adalah Ame (hujan) kerena aku lahir pada saat hujan, pikirku setelah Satsuki pergi.
Bel masuk membuyarkan lamunanku dan aku segera membereskan bekal yang kubawa, padahal baru beberapa potong omelet yang kumakan. Yaah, setidaknya nanti aku tidak perlu pergi ke kantin untuk membeli roti pada saat istirahat selanjutnya.
“Hei, kau lihat murid baru yang tadi ada di ruang guru ?” Tanya Kishi pada Satsuki yang sedang mengambil buku di tasnya. Aku ikut mendengarkan percakapan mereka.
“Ada murid baru ? di waktu seperti ini ?” Satsuki balas bertanya.
“Bodoh, aku ‘kan bertanya padamu.”
“Mana mungkin aku tahu! Aku hanya di kelas saat istirahat tadi!”
“Perempuan atau laki-laki?” Tanyaku mengikuti perbincangan mereka.
“Laki-laki. Dan kurasa dia bukan orang Jepang. Mungkin campuran.” Jawab Kishi.
“Oh, sekarang banyak sekali orang luar Jepang yang bersekolah di Negara kita dan perbedaan mereka sangat mencolok.” Kataku sambil menopang dagu. Kishi dan Satsuki menjawab dengan anggukan.
***
“Aku pulang~” ucapku memasuki rumahnya dan mendapati ibu sedang menikmati teh sambil melihat televisi di ruang kelurga.
“Ah, kau sudah pulang? Selamat datang” balas ibuku.
“Aku akan langsung naik dan mengerjakan PR, jadi jangan ganggu aku.” Kataku sambil melepas sepatu dan langsung naik ke kamar. Ibuku hanya tersenyum.
“Baiklah. Aku akan memanggilmu saat makan malam sudah siap.”
“Tidak perlu. Aku akan turun saat aku merasa lapar.” balasku.
Aku melempar tas dan menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Aku melihat langit sore yang gelap. Sebentar lagi akan hujan. Aku tadi berbohong pada ibu bahwa aku akan mengerjakan PR. Aku hanya tidak ingin diganggu di saat-saat hujan turun karena aku tahu mood-ku akan berubah drastis.
“Mungkin aku harus ke dokter?” kataku pada diri sendiri. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Aku bangkit dan membukanya.
“Ibu akan ke rumah paman Toshiya sebentar karena baru saja dia telepon kalau dia butuh bantuan ibu. Boleh?” ucap ibu.
“Baiklah.” Jawabku dengan tersenyum. Ibu tersenyum dan mencium keningku lalu berjalan menuruni tangga. “Ah, aku sudah memanaskan sayurnya. Kau bisa makan kapanpun kau mau” lanjut ibu sebelum sampai ke bawah.
“Oke! Jangan terburu-buru pulang! Jangan khawatirkan rumah!” teriakku pada ibu saat dia akan keluar rumah. Ibu tersenyum padaku.
“Aku berangkat!”
Aku kembali menutup pintu kamar. Aku kembali melemparkan tubuhku ke tempat tidur. Aku merasa senang dan sedikit tersenyum karena ibu telah mendapat pengganti ayah dan aku bisa merasa kalau paman Toshiya cukup baik padaku sejak ibu memperkenalkannya beberapa bulan lalu. Setidaknya, aku senang mengetahui ibu bisa menjalin kisah cinta lagi sejak ibu bercerita bahwa ayah meninggal saat aku berusia 3 tahun karena kecelakaan. Aku hanya berharap mereka bisa melanjutkan sampai pernikahan.
Tidak lama setelah itu, hujan turun dan aku menutup tirai kamar. Aku tidak ingin melihat tetesan air hujan di luar. Aku mengambil mp3 dan headset lalu memasangnya di telinga, memutar lagunya sekeras mungkin sehingga tidak bisa mendengar suara hujan di luar. Setelah beberapa lagu yang kudengar, aku melepaskan headset dan masih mendengarkan suara hujan meskipun tidak sederas tadi. Aku membuka tirai dan sedikit melihat keluar dimana rintikan hujan masih terlihat jelas. Mataku berpaling menuju jalan yang ada di depan rumah. Aku melihat seorang lelaki muda menyandarkan badannya di tiang listrik dengan menggunakan tangannya. Apa yang dilakukan laki-laki itu di saat hujan deras seperti ini tanpa payung ataupun pelindung hujan lainnya?
Tiba-tiba laki-laki itu jatuh berlutut dan beberapa detik kemudian seluruh tubuhnya jatuh ke tanah. Aku terkejut. Laki-laki itu tidak sadarkan diri. Segera aku menutup tirai, berharap akan ada orang lain yang menyadari bahwa laki-laki itu tidak sadarkan diri dan menolongnya. Beberapa menit berlalu dan aku mencoba membuka kembali tirainya berharap laki-laki tidak sadarkan diri itu sudah hilang dari pandanganku. Tapi, hal itu tidak terjadi. Laki-laki itu masih tergeletak di sana. Sebenarnya, aku ingin menolongnya. Tapi, di luar hujan dan entah kenapa aku membenci hujan.
“Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?” Tanyaku pada diri sendiri. Setelah beberapa lama berfikir, aku bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju ruang bawah, memakai jas hujan dan membuka pintu depan. Rintikan hujan menungguku di luar rumah. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menolong laki-laki itu. Aku tidak akan sekejam itu membiarkan sesorang yang tidak sadarkan diri di depan rumahku. Aku beranikan diri  menerobos hujan mendatangi tempat laki-laki itu tergeletak. Aku memeriksa denyut nadi di pergelangan tangannya, memastikan kalau laki-laki itu masih bernafas. Ya, dia masih bernafas. Aku menaikkan satu tangan laki-laki itu melingkari leher dan pundakku, sedangkan tanganku yang lain menyangga tubuh laki-laki itu agar tidak jatuh.
“Berat sekali orang ini” keluhku.
Dengan susah payah aku membopong laki-laki itu menuju rumah—lebih tepatnya, sedikit menyeretnya karena laki-laki itu terlalu berat bagiku. Aku membaringkan laki-laki itu di sofa dan mengusap wajah dan badannya yang tidak tertutup baju menggunakan handuk. Aku mengambil minyak aroma therapy dari kotak obat dan mendekatkannya ke hidung laki-laki itu. Setelah beberapa kali melakukannya, mata alaki-laki itu mulai terbuka.
“Syukurlah” kataku.
Lelaki itu mencoba duduk dan melihat sekelilingnya—merasa asing dengan dimana dia sekarang. Lalu pandangan lelaki itu sampai padaku. Sejenak, aku merasa lak-laki itu terkejut melihatku.
“Ini dimana?” Tanya laki-laki itu. Aku merasa sedikit aneh dengan logat Jepang yang digunakannya.
“Ini rumahku. Kau kutemukan tidak sadarkan diri di depan rumahku dalam derasnya hujan. Minumlah. Ini akan membuatmu merasa lebih baik.” Balasku mengambilkan segelas teh hangat untuk laki-laki itu. Dia menerima dan meminumnya.
“Thank you.” kata laki-laki itu.
“Merasa lebih baik?” Tanyaku. Laki-laki itu mengangguk.
“Apakah kau ingin mengeringkan tubuhmu?” kataku setelah melihat pakaian laki-laki itu yang basah kuyup.
“Bolehkah?”
“Tentu saja. Aku akan meminjamkan beberapa pakaian laki-laki yang kupunya. Kau boleh menngunakannya” jawabku. “Kamar mandi di sebelah sana. Aku akan menaruh pakaiannya di rak kamar mandi” lanjutku yang disusul anggukan laki-laki itu. Aku naik ke atas mengambil pakaiannya, sementara laki-laki itu memasuki kamar mandi.
Setelah beberapa menit menunggu laki-laki itu, aku menyiapkan beberapa kue di meja tamu dan memandang luar jendela. Hujan masih turun meskipun tidak sederas tadi.
“Terima kasih. Tidak kusangka kau punya pakaian laki-laki dan itu cocok untukku” kata laki-laki itu dan langsung duduk di depanku.
“Ibuku yang membelikannya beberapa bulan lalu. Aku tidak punya hobi hanya untuk mengoleksi semua pakaian wanita saja.”balasku sambil menawarkan kue yang tadi dihidangkannya. Laki-laki itu mengambil beberapa dan memakannya. “Enak”
“Benarkah?” tanyaku dengan mata berbinar.
“Jangan-jangan ini buatanmu?” tanya laki-laki itu. Aku mengangguk.
“Jadi, bisa kau jelaskan padaku?” tanyaku.
“Eh?”
“Kenapa kau pingsan di tengah jalan seperti itu? Lebih parahnya saat hujan sederas itu dan kau tidak memakai pelindung hujan sama sekali.” Laki-laki itu terdiam sejenak.
“Aku hanya ingin berjalan-jalan mengahafal rute jalan di sekitar sini, tadinya. Tetapi, tanpa kusadari tiba-tiba hujan turun.” jawab laki-laki itu.
“Eh? Lalu?” Aku merasa aneh. Laki-laki itu terdiam lagi. Kali ini cukup lama. Sepertinya, dia ragu akan meneruskan ceritanya atau tidak.
“Aku trauma terhadap hujan. Aku akan pingsan, atau setidaknya merasa mual dan sakit kalau berada di tengah hujan tanpa pelindung seperti tadi.” jawab laki-laki itu akhirnya.
“Takdir”
“Apa?” tanya laki-laki itu berharap dia salah dengar.
“Aa~tidak! Tidak! Aku tidak mengatakan apapun.” Elakku sambil mencoba meminum teh untuk menutupinya. Laki-laki menatap keluar jendela dan dia berdiri.
“Aku pulang”
“Eh?”
“Kenapa? Hujannya sudah reda. Lihat!” Aku menatap keluar jendela dan memeang benar hujan sudah reda meskipun awan gelap belum sepenuhnya menghilang. Laki-laki itu berjalan keluar dan kususul berjalan di belakangnya.
“Kau tidak butuh payung? Aku akan meminjamkanmu.” Kataku saat kami sampai di luar pintu.
“Kurasa tidak. Aku sudah cukup berhutang budi dengan meminjam baju ini. Lagipula, kurasa hujan tidak akan turun lagi. Selain itu, rumahku juga tidak jauh dari sini.”balas laki-laki itu berjalan meninggalkan rumahku. Tapi, tiba-tiba dia berhenti dan berbalik.
“Namamu?”
“Ame. Ame Hoshimura” jawabku tersenyum.
“Ame? Hujan?” Tanya laki-laki itu dengan raut wajah sedikit janggal. Aku hanya membalas dengan senyuman.
“Aku Ryouta Saputra. Salam kenal.” Balas Ryouta.
“Ya, salam kenal, Ryouta-kun”. Ryouta berjalan menjauh dari rumahku.
“Saputra? Apakah itu nama marga Jepang? Dan kurasa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Dimana, ya ? Kapan?” Tanyaku pada diri sendiri. Tapi, aku memutuskan untuk tidak memusingkan hal semacam itu. Aku kembali ke dalam rumah dan menutup pintunya. Sekarang, perutku merasa lapar dan aku akan makan sayur yang tadi sudah dimasakkan ibu.
***
Aku benar-benar tidak menyangka kalau laki-laki yang kemarin kutolong—Ryouta adalah murid bari di sekolahku. Dan terlebih lagi, dia satu kelas denganku. Ini benar-benar takdir yang kubayangkan. Pertama, kami sama-sama mempunyai perasaan yang aneh terhadap hujan dan kami dipertemukan oleh hujan. Sekarang, Ryouta satu kelas denganku. Apakah musim semi bagiku sudah datang?.
“Aku benar-benar tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi disini.” Kataku mendekati Ryouta saat jam istirahat.
“Begitu juga aku. Yah, mohon bantuannya selama satu tahun ke depan, Ame-san.” Balas Ryouta dengan senyuman. Aku merasa aneh. Aku tidak merasa marah saat seseorang memanggilku dengan nama Ame. Ryouta orang pertama yang membuatku merasa seperti itu, selain ibu tentunya. “Aa~iya.” Balasku.
“Yo, Hoshimura-san! Jangan langsung menggoda si murid baru itu!” teriak Yoshitake dari luar kelas.
“Berisik kau, Yoshitake!” Aku memandangnya dengan marah. Yoshitake hanya tertawa.
“Hei, murid baru! Ryouta-kun! Jangan termakan kata-kata manis Hoshimura! Lari darinya dan hiduplah dengan tenang!” lanjut Yoshitake. Aku berdiri dan mengambil buku yang ada di meja sebelahku lalu melemparnya ke arah Yoshitake. Dan sukses mengenai kepalanya.
“Si bodoh sialan itu! Aku akan membunuhnya suatu saat nanti!” kataku kembali ke tempat Ryouta.
“Kalian lucu sekali.” kata Ryouta sambil tertawa.
“Kau bercanda? Kurasa itu konyol.” balasku masih dengan emosi.
“Caramu menanggapi Yoshitake-kun benar-benar menghibur. Cukup unik, menurutku.” Aku tersipu malu mendengar tanggapan Ryouta, meskipun Ryouta tidak menyadari kalau raut wajahku memerah.
“Oh, ya. Aku belum mencuci pakaianmu. Boleh kukembalikan besok saja?” tanya Ryouta.
“Tentu saja. Tidak terlalu terburu-buru.” jawabku tersenyum. “Apakah rumahmu  berada di sekitar rumahku?” tanyaku.
“Ya, kalau dari sekolah, rumahku masih dua blok dari rumahmu.” jawab Ryouta.
“K-kalau begitu, maukah kau pulang sekolah bersamaku?” kataku sambil mengenggam kedua tanganku—gugup.
“Tentu saja. Kenapa tidak?”. Jawaban langsung Ryouta itu membuatku tersenyum malu.
***
“Terima kasih sudah bersedia pulang bersamaku.” kataku pada Ryouta saat kami sampai di depan rumahku.
“Tidak apa-apa. Kalau bersamamu, aku tidak akan tersesat lagi. Lagipula, aku senang kau orang pertama yang menjadi temanku saat aku kembali lagi ke Jepang.” balas Ryouta. Aku tersenyum. Laki-laki ini sepertinya cukup baik. Kami berpisah di depan rumahku. Aku tetap menunggu—melihat punggung Ryouta sampai dia menghilang di belokan yang berada dua blok dari rumahnya. Aku merasa aneh dengan laki-laki itu. Padahal, baru kemarin kami bertemu, tapi aku sudah merasa nyaman berada di dekat Ryouta dan berbincang dengannya saat pulang sekolah tadi.
Ryouta adalah warga Negara Indonesia—setidaknya, dulu sebelum dia pindah kewarganegaraan karena dia sudah memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya di Jepang. Di Jepang, dia tinggal bersama paman dan bibinya karena kedua orang tuanya sudah meninggal saat Ryouta masih kanak-kanak. Ryouta tidak menjawab saat aku mananyakan penyebab trumanya terhadap hujan dan aku pun tidak ingin memaksanya. Aku juga bercerita bahwa aku juga mempunyai perasaan yang sedikit ganjil terhadap hujan. Saat hujan turun, mood-ku akan berubah menjadi buruk, bahkan tidak jarang mempengaruhi sikapku terhadap orang-orang disekitarku. Ternyata, Ryouta pun berfikiran kalau ini adalah takdir bahwa mereka mempunyai keterikatan terhadap hujan. Dan aku merasa senang kalau Ryouta mempunyai pemikiran yang sama denganku.
“Siapa yang tadi itu?” tanya Ibuku saat aku memasuki rumah.
“Bukan siapa-siapa. Hanya teman dan dia murid baru di kelasku hari ini.” jawabku sambil menaruh tas di sofa dan mengambil kue yang ada di meja. Kulihat ibu sedang memasak kue.
“Dan kulihat, kau sudah akrab dengan si murid baru itu. Perkenalkanlah padaku suatu saat nanti.” kata Ibu masih dengan mengolah bahan-bahan kue. Mengerti maksud ibu, aku memilih tidak menjawab.
“Dia foreigner, bu. Dia berasal dari Indonesia. Kami bercerita banyak saat pulang sekolah tadi.” kataku mengambil beberapa potong kue lagi. Ternyata, tanpa kusadari, tangan ibu tiba-tiba berhenti mengolah kue saat mendengar bahwa teman baru putrinya berasal dari Indonesia. “Dia bercerita bahwa kedua orang tuanya meninggal saat dia masih kanak-kanak. Dan ibu tahu? Dia trauma terhadap hujan. Dia sedikit mirip denganku, bukan?” lanjutku masih tidak menyadari bahwa sekarang ibunya melepas apronnya dan mendekatiku.
“Benarkah? Coba ceritakan lebih detail tentang teman barumu itu.” kata ibu.
“Hanya itu saja.” Jawabku. “Kenapa? Sepertinya ibu penasaran sekali dengan Ryouta-kun.” tanyaku menyadari bahwa ibu berhenti membuat kue dan lebih tertarik dengan ceritanya.
“Siapa?”
“Eh?”
“Siapa nama teman barumu itu? ” tanya Ibuku.
“Ryouta-kun. Ryouta Saputra.” Jawabku polos, tetapi mulai merasa aneh dengan sikap ibu. “Ibu kenal?”
“T-tidak. Jadi, dia berasal dari Indonesia, ya” balas Ibu menyadari bahwa aku merasa aneh dengan perubahan sikapnya. Akhirnya ibu  kembali memakai apronnya dan kembali mengolah kue. Aku mengambil beberapa potong kue lagi dan berjalan naik ke atas—ke kamar.
“Dia benar-benar datang. Dia—Saputra...Kuharap dia tidak membuka kembali ingatan Ame.” Kata ibu Ame pada dirinya sendiri. Ibu Ame tidak ingin rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat terhadap Ame akan terbuka karena kehadiran seseorang. Rahasia yang—ibu Ame yakin akan sangat menyakitkan. Kenangan yang tidak ingin dan tidak akan pernah diingatnya kembali. Bagi mereka berdua. Dan mungkin, bagi seseorang lagi.
***

2 minggu kemudian
“Ryouta-kun tidak masuk lagi ya?” Tanya Yoshitake kepadaku. Aku menggeleng. “Bukankah seharunya kau tahu penyebab kenapa dia tidak masuk 3 hari? Padahal, baru seminggu dia menjadi murid baru di sini.” lanjut Yoshitake.
“Kenapa tidak kau saja? Kau pikir aku ibunya?” jawabku sedikit ketus. Yoshitake mengehela nafas. Kurasa dia mengerti mengapa sikapku seperti itu karena lagi-lagi pagi ini hujan turun dan sekarang masih gerimis.
“Bukankah kalian lumayan akrab? Kalian bahkan selalu pulang bersama.” Balas Yoshitake bersiap akan meninggalkanku. “Kenapa kau tidak ke rumahnya dan menjenguknya?”. Yoshitake berjalan menginggalkanku yang tidak menjawab pertanyaannya.
***
Aku mematung di depan pagar sebuah rumah. Disinilah aku. Berada di depan rumah yang—setelah bertanya kepada beberapa orang bahwa inilah rumah Ryouta. Meskipun aku sudah berada di sini, aku ragu untuk masuk dan menekan bel rumah ini. Tapi, setelah berfikir tentang banyak hal, akhirnya kakiku melangkah memasuki pagar dan menekan bel yang terletak di sudut tembok. Beberapa detik kemudian, pintu dibuka oleh seorang wanita berumur sekitar 40 tahun-an.
“Selamat sore.” Kataku mencoba bersikap sopan. Wanita itu balas dengan senyuman.
“Apakah ini rumah Ryouta-kun?” Tanyaku. Wanita itu terlihat sedikit bingung. Lalu aku mengulangi pertanyaanku. Setelah mendengar nama Ryouta, wanita itu mengangguk-angguk dan mempersilahkanku masuk dengan gerakan tangannya. Wanita ini tidak terlalu mengerti bahasa Jepang, itu penilaian pertamaku. Selain itu, paras wajahnya juga bukan paras orang Jepang. Wanita itu naik ke atas dan aku mengikutinya. Setelah sampai di depan sebuah kamar, wanita itu mempersilahkanku masuk.
“Kenapa kau ada di sini?” Tanya Ryouta yang sedikit berbaring sambil membaca buku di tempat tidurnya setelah melihatku memasuki kamarnya. “Tante, tolong buatkan kami minuman.” Lanjutnya kepada wanita yang tadi mengantarku dalam bahasa Indonesia.  Wanita itu berlalu turun ke bawah. Aku mengambil kursi yang berada di sudut ruangan dan duduk di dekat tempat tidur Ryouta.
“Kenapa tidak masuk sekolah? Kulihat kau cukup sehat untuk bisa bersantai dan membaca buku.” Kataku sambil membaca judul buku yang dibaca Ryouta. Judul buku itu ditulis dengan bahasa Indonesia dan aku tidak mengerti. Hanya saja ada satu kata yang tebal dan bergaris bawah serta bercetak miring yang cukup menarik perhatianku, Alzheimer.
“Yah, begitulah.” Jawab Ryouta sekenanya. Menyadari itu aku segera meminta maaf.
“Maaf, kurasa kau memang benar-benar sakit.” Ryouta membalas dengan senyuman.
Aku melihat sekeliling kamar Ryouta. Kamar ini bersih. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada kaki kanan Ryouta yang tidak tertutup selimut. Terlihat bercak-bercak merah pada kakinya dan kurasa bercak itu tidak terlihat seperti bercak biasa seperti penyakit kulit pada umumnya.
“Ryouta-kun, kakimu…”
Ryouta segera menutupi kakinya dengan selimut setelah menyadari bahwa aku melihatnya. Ryouta tidak menjawab apa-pun. Ini benar-benar aneh. Apa yang membuatnya sangat menyembunyikannya?
***

Setelah kejadian itu, entah kenapa aku dan Ryouta tidak seakrab dulu. Aku sudah berkali-kali mencoba bertanya pada Ryouta apa yang membuatnya seperti menghindar dariku, tapi dia selalu mengelak dengan berkata bahwa itu hanya perasaanku saja. Lalu, suatu kejadian yang menguak semua keanehan ini terjadi.
Hari ini , lagi-lagi Ryouta tidak masuk sekolah dan kali ini sudah lebih dari 5 hari. Aku memutuskan untuk menjengunya sekali lagi karena kupikir sikap Ryouta yang tiba-tiba berubah karena dia benar-benar marah saat aku menyinggung bercak merah yang ada di kakinya beberapa saat lalu. Tapi, sesesorang mengatakan bahwa rumah Ryouta sedang kosong karena bebrapa hari lalu terdapat ambulans yang menganggut Ryouta ke rumah sakit. Mendengar hal itu aku segera ke rumah sakit.
Aku mencari kamar tempat Ryouta dirawat dan menemukannya. Tapi, saat akan memasuki kamarnya, aku melihat ibuku berdiri di samping Ryouta yang sedang duduk di tempat tidurnya. Aku tidak berniat menguping, tetapi ada beberapa obrolan mereka yang terdengar olehku.
“Aku tidak ingin Ame mengingat kejadian itu lagi. Kumohon, tetaplah seperti ini. Tetaplah menjauh dari Ame.” Kata ibu. Ryouta tidak menjawab.
“Aku tahu ini sangat egois dan bukan hak-ku untuk meminta hal seberat ini padamu saat kondisimu seperti ini. Tapi, inilah yang bisa kita lakukan untuknya.” Lanjut ibu.
“Tidak. Aku sudah bersiap tentang hal ini. Jangan khawatirkan tentang aku, lagi, bi. Sekarang, hidupmu hanyalah untuk Ame. Aku menyayanginya. Selalu. Lagipula, ini juga keputusanku sendiri untuk tetap bersandiwara.” Kata Ryouta.
Aku berhenti mendengarkan perbincangan mereka saat salah seorang suster menegurku. Aku berbalik dan pulang dengan berbagai peranyaan di kepalaku. Kenapa ibuku mengenal Ryouta? Apa yang mereka sembunyikan dariku?
***
“Jelaskan padaku, bu.” Kataku pada ibu saat kami selesai makan malam. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya tentang kejadian di rumah sakit hari ini saat tidak sengaja aku mendengarkan perbincangan Ryouta dan ibu. Ibu terdiam. Aku menunggu. Lalu, akhirnya ibu mulai bicara.
“Aku tahu aku tidak bisa menyembunyikan ini selamanya darimu karena pada dasarnya hal ini pasti masih tertanam di ingatanmu.” Kata ibu. Aku tetap terdiam.
“ Ryouta…Ryouta Saputra. Dia adalah saudaramu. Anak pamanmu yang menikah dengan gadis Indonesia. Ayahmu…mereka—orang tua Ryouta meninggal bersama ayahmu saat ulang tahunmu 14 tahun lalu.” Lanjut ibu. Aku mematung. Tidak tahu harus berkata apa karena aku tidak mengerti apapun yang seharusnya kumengerti sejak awal. “Aku hanya akan bercerita sampai disini. Kau akan mengingatnya. Pasti.” Ibu meninggalkanku sendiri di ruang makan. Aku benar-benar tidak mengingat apa-pun. Apa yang ibu harapkan dariku untuk mengingat sesuatu?
Tiba-tiba hujan turun. Aku melihat tetesan hujan dari jendela. Tiba-tiba, aku merasa hujan itu membentuk gambar-gambar. Gambar mobil, bekas jalanan yang rusak, pohon, motor yang terbakar, dan darah. Serta suara hujan terdengar seperti decitan rem yang melengking di telingaku. Aku menutup telinga dan mata. Tetapi, gambaran itu semakin jelas. Gambaran motor yang terbakar dengan dengan orang yang terkapar di sampingnya. Gambaran dua orang di depanku yang tidak sadarkan diri dan kurasa kami berada di dalam mobil. Dan sesorang di sampingku—dia seumuranku, laki-laki—yang juga tidak sadarkan diri dengan darah di kepalanya. Serta aku yang menangis mencoba membuka pintu mobil dan menghampiri motor yang terbakar itu. Aku menangis meraung di samping tubuh yang sudah tidak bergerak di samping motor. Dalam deras hujan.
***
Aku mengingat semuanya. Kejadian saat ayahku dan kedua orang tua Ryouta meninggal. Dan kenapa aku membenci hujan. Sekarang aku mengerti alasannya. Dan sekarang, saat hujan turun, aku berdiri di depan sebuah makam. Makam seseorang yang baru kukenal beberapa minggu lalu. Padahal seharusnya, aku sudah mengenalnya sejak dulu. Dia yang selalu menyayangiku. Dia yang terus bersandiwara di depanku sebagai seorang teman. Seorang laki-laki yang mengatakan padaku bahwa dia mempunyai truma terhadap hujan, padahal dia menderita penyakit otak alzheimer. Dan dia mempertaruhkan kesehatannya demi untuk mencoba melihat keadaanku pada hari itu saat hujan deras. Tetapi, malah berakhir aku yang menemukannya tergeletak di depan rumah.
Laki-laki yang sebenarnya lebih menderita dariku karena kehilangan kedua orang yang dicintainya serta bertarung melawan penyakitnya, namun tetap memperdulikan orang sepertiku hanya karena dia merasa bersalah karena menurutnya kecelakaan itu adalah ulahnya yang terus menganggu ayahnya yang sedang menyetir dan karena itu aku yang masih kecil mengalami stress berat sampai melupakan kejadian hari itu. Ryouta menceritakan semua hal itu sehari sebelum kematiannya. Bukan. Aku tidak pernah berfikir itu salahnya. Bahkan, setelah aku mengingat semuanya.
Aku kehilangan orang yang sesaat sempat membuatku nyaman dengan nama Ame hanya dalam beberapa minggu. Ini benar-benar ironis. Permainan takdir.

0 komentar:

Posting Komentar