Aku membetulkan tas
ransel euro polo coklat berisikan
laptop dan beberapa buku ilmu hukum beserta kamusnya yang sedikit mengganggu
pundak. Kakiku sudah mulai pegal menunggu bus yang seharusnya sudah lewat
beberapa menit lalu dan mengantarku ke kampus. Namun, aku juga tidak bisa
menyalahkan si sopir ataupun siapa saja karena ini memang kesalahanku yang
bangun kesiangan. Begadang semalaman bersama teman-teman untuk mengerjakan
laporan untuk dipresentasikan di depan dosen sudah bisa membuat sakit kepalaku
belum hilang sampai sekarang. Kulihat, seorang ibu yang berdiri disampingku
sedari tadi juga sudah mulai melihat-lihat jam tangannya. Di depanku, suasana
ramai toko Joger sudah menjadi sarapan setiap pagi bagi mahasiswa yang kuliah
di Bali. Toko itu tidak pernah sepi. Toko khas Bali itu menjual berbagai
pakaian dan tas dengan harga tinggi. Tapi, tetap saja pembeli yang berkunjung
tidak menurun. Sekilas, aku juga melihat tukang pos yang memarkir motornya di
depan salah satu rumah di samping toko Joger. Bicara tentang surat, itu
mengingatkanku pada suatu kejadian.
Sembari melihat jam tangan, tiba-tiba ingatanku
melayang jauh ke belakang, saat aku berumur 11 tahun. Saat itu, sekolah kami
mengadakan rekreasi perpisahan SD ke Yogyakarta. Kami yang masih anak-anak
sangat senang dengan adanya rekreasi itu karena Yogyakarta terkenal dengan
Kraton dan Kesultanannya dan pasti sangat menyenangkan bisa berbelanja di
Malioboro. Rekreasi itu diadakan bulan Agustus. Aku masih sangat mengingatnya
karena bulan itu bertepatan dengan ulang tahun anak laki-laki yang kusukai
sejak kelas 5 SD.
Aku yang masih lugu mengalami cinta
pertama, meskipun itu hanyalah cinta monyet. Mengingat diriku saat itu selalu
membuatku tersenyum. Anak laki-laki itu bernama Adam. Dia anak yang manis,
meskipun kulitnya tidak terlalu putih. Kecap
Bango kalau orang sekarang mengatakannya. Dia anak laki-laki yang pintar di
kelasku, dan terlihat cukup cool
karena jarang sekali bicara kecuali dengan teman yang benar-benar akrab
dengannya. Aku menyukainya saat itu, dan aku memberanikan diri untuk
menyerahkan sebuah surat cinta saat malam terakhir kami menginap di Yogyakarta.
Meskipun, akhirnya, karena terlalu takut dan gugup, aku tidak bisa
menyerahkannya secara langsung dan hanya diam-diam menaruh surat itu di tempat
kacamata yang ditinggalkan di kamarnya.
Beberapa hari setelah penyerahan
surat itu, kami wisuda. Tapi, tidak ada satu patah kata pun yang diucapkan
Adam. Aku mulai ragu apakah surat itu sampai padanya atau tidak. Namun, aku
juga terlalu takut untuk menanyakannya. Seperti itulah. Pernyataan cintaku
untuk pertama kalinya hanya berkhir seperti itu. Meskipun sampai sekarang, aku
masih merasakan penyesalan. Membayangkan dimana Adam sekarang? Aku sama sekali
tidak pernah mendengar kabarnya setelah wisuda SD. Apakah dia masih di
Palembang? Ataukah dia keluar meninggalkan Palembang sepertiku? Entahlah.
Tiba-tiba lamunanku dibuyarakan oleh
sesosok yang tidak sengaja tertangkap mata dan berada di dalam toko Joger. Sosok
seorang laki-laki memakai jaket orange khas Joger yang sedang memilih tas.
Meskipun wajah laki-laki itu terlihat dari samping, aku bisa menebak siapa dia.
Aku melihat jam tangan. Masih 30 menit sebelum kelas pagi ini dan masih 20
menit kalau dipotong waktu perjalanan. Aku menyeberang jalan. Beberapa bis pariwisata
mini yang akan membawa wisatawan ke pantai Kuta menekan klaksonnya karena aku
menyeberang dengan berlari. Tapi, aku tidak memeperdulikannya. Adrenalinku
terasa memuncak dan otakku terus menyuruh agar jangan berhenti berlari. Aku
tidak ingin kehilangan sosok itu.
Memasuki toko Joger, aku
mencari-cari sosok laki-laki berjaket orange itu. Bertarung dengan kerumunan
wisatawan, aku terus mencari berharap kalau menemukannya. Mataku terus mencari
sosok itu, tapi terlalu banyak orang disini dan hampir semua laki-laki
mengenakan jaket orange khas Joger. Namun, setelah cukup lama kucoba mencari,
aku menyerah. Selain karena tidak kunjung menemukannya, aku sudah membuang waktu
15 menit sebelum kelas pagi dimulai. Aku keluar toko Joger dengan langkah
lemah. Sosok itu adalah Adam. Meskipun sudah hampir 10 tahun tidak bertemu
muka, tapi aku tidak akan lupa dengan wajah seriusnya saat mengenakan kacamata.
Aku memutuskan membeli minum sebelum
kembali menunggu bis. Tempat penjual minuman cukup ramai karena banyak sekali
wisatawan yang mengantri. Mau tidak mau aku juga harus mangantri karena
tenggorokanku terasa sangat kering.
“Siska?” sapa seseorang bersuara
berat di belakangku. Aku menoleh. Laki-laki tinggi besar itu memakai jaket
orange Joger dan bertopi putih. Mataku menyipit memandang wajahnya. Menyadari
gelagatku, laki-laki itu melepas topinya. Setelah beberapa menit mencoba
mengingat laki-laki itu, aku menutup mulut.
“Andi, bukan?” tanyaku antusias.
Laki-laki bernama Andi itu menangguk-angguk. Aku meloncat-loncat, gembira
bertemu teman lama. Kami ber-shake hands.
Setelah mengambil minuman, kami keluar barisan antrian dan duduk di salah satu
kursi taman yang memang disediakan di depan toko Joger.
“Kau kuliah di Bali?” tanya Andi
sambil menyeruput jus jeruknya.
“Iya. Kau sendiri?”
“Aku di Bali untuk urusan
pekerjaan.” jawabnya.
“Sudah lama sekali kita tidak reunian,
kan? Kau benar-benar berubah, Siska.” tambah Andi mengamatiku dari kaki sampai
ujung rambut. Merasa malu, aku memukul wajahnya pelan.
“Kau juga tak berubah. Tetap tinggi
besar seperti waktu kita SD. Makmur sekali, hidupmu sepertinya.” balasku. Andi
hanya tertawa. “Pekerjaan apa yang kau lakukan di Bali?” tanyaku. Belum sempat Andi
menjawab, handphone-ku berdering. Andi
memberi tanda agar aku mengangkat telefon itu. Telefon dari Lina. Dia
menanyakan dimana aku sekarang karena lima menit lagi kelas akan dimulai dan
presentasi pertama adalah kelompok kami. Aku melihat jam tangan. Benar. Aku
akan telat tiba di kampus.
“Sorry,
An, aku harus ke kampus sekarang. Bye!”
ucapku tergesa-gesa. Namun, Andi menahan tanganku.
“Aku minta nomor handphone-mu. Kami
akan butuh banyak bantuanmu di sini.” Tidak pusing memikirkan apa maksud
perkataan Andi, aku segera memberi nomor handphone-ku padanya. Setelah selesai
aku bergegas menyeberang jalan menuju tempatku biasa menunggu bus. Beruntung,
di sana sudah ada bus yang berhenti dan aku tidak perlu menunggu terlalu lama.
*************
Sekali lagi aku mengaduk-aduk jus
jeruk yang sudah tinggal separuh ini dan melihat jam tanganku. Dia terlambat.
Sore tadi Andi meneleponku dan mengajak untuk bertemu di salah satu café dekat dengan
pantai Kuta. Sebenarnya, aku sangat senang bisa reunian dengan teman lama, tapi
kalau mengingat tempat yang dipilihkan Andi, ingin rasanya tadi aku menolak.
Café dan restoran di sekitar pantai Kuta terkenal sangat mahal dan jelas tidak
cocok dengan kantung mahasiswa perantauan sepertiku. Namun, apa boleh buat.
Aku mengeluarkan handphone dari
dalam tas, mencari nomor Andi dan berharap dia akan segera datang setelah aku
menelefonnya. Tapi, niat itu kuurungkan setelah dari kejauhan di luar café aku
melihat Andi melambaikan tangan. Setelan celana jeans pendek dan kaos biru tua
yang agak ketat terlihat sangat cocok di tubuhnya yang atletis. Aku balas
melambaikan tangan padanya. Dari dalam café, aku melihat dia sedang mengobrol
dengan seorang laki-laki di belakangnya. Laki-laki berjelana jeans hitam dan
memakai kaos merah bertuliskan I Love
Bali. Aku tidak bisa melihat terlalu jelas wajah laki-laki itu karena sinar
lampu jalan yang remang. Tapi, aku yakin laki-laki itu memakai kacamata.
Mereka berjalan memasuki café dan
mendekatiku. Menyadari siapa laki-laki yang berjalan di belakang Andi,
jantungku tiba-tiba berdegup keras. Dia Adam. Tanganku, bahkan seluruh tubuhku
serasa bergetar hebat melihatnya berjalan ke arahku. Mataku tidak mau menuruti
perintah yang menyuruhku agar melihat ke arah lain. Aku belum siap, setidaknya
untuk bertemu secara tiba-tiba dengan Adam yang sudah hampir 10 tahun tidak
pernah terdengar kabar apapun. Meskipun, lucu rasanya saat mengingat betapa
beraninya aku ketika mencoba mengejarnya di Toko Joger tadi pagi. Tapi, kali
ini berbeda. Apa yang harus kulakukan kalau bertemu dengannya? Apa yang harus
aku kukatakan nanti?
“Sudah lama, ya?” tanya Andi sambil
menempatkan dirinya duduk di depanku, dan kujawab hanya dengan senyuman. Adam
mengambil posisi duduk di sebelah Andi.
“Langsung saja, ya,” Andi memulai
pembicaraan setelah memesan beberapa minuman kepada waitress. “Aku ingin kau jadi tour
guide kami. Kami butuh info seputar Bali untuk pekerjaan kami.”
“Pekerjaan?”
“Wartawan. Kami adalah wartawan yang
khusus meliput tempat-tempat wisata di Indonesia. Mungkin kau pernah mendengar
tentang majalah Travelist?” kata Andi
sambil meletakkan jus apel di depan Adam yang baru saja diantarkan waitress,
sedangkan dirinya memesan jus lemon. Aku mengangguk menjawab pertanyaan Andi. Travelist
adalah majalah wisata online yang
cukup terkenal dan aku pernah membaca beberapa artikelnya.
“Kami adalah salah satu wartawan
untuk majalah itu.” kali ini Adam yang angkat bicara. Sejenak, aku merasa kaget
dengan perubahan suara Adam yang dulu dengan Adam yang sekarang. Suaranya berat
dan terdengar sangat laki-laki. Meskipun terasa sedikit tidak biasa, namun
inilah Adam yang sekarang. Aku merindukannya.
“Lalu?” tanyaku kembali menyeruput
jus jerukku untuk menyamarkan keteganganku.
“Seperti yang kukatakan tadi, aku
ingin kau jadi tour guide untuk artikel kami tentang Bali. Kau pasti sudah lama
menetap di Bali, bukan?.”
*******************
Dua minggu berlalu setelah aku
menyetujui untuk membantu Andi dan Adam dengan pekerjaan mereka meliput
artikel. Meskipun membantu, tapi sebenarnya aku hanyalah menemani mereka ke
tempat-tempat yang terkenal maupun tidak terkenal di Bali untuk meliput lebih
dalam tempat-tempat itu. Aku mengetahui tempat-tempat yang tidak terkenal
setelah melakukan beberapa searching
kepada teman-temanku yang orang Bali asli. Aku hanyalah peneman mereka,
selebihnya mereka bisa bekerja secara professional
layaknya wartawan dari majalah online yang cukup terkenal. Andi dan Adam
terkadang membayarku dengan beberapa pakaian yang sengaja mereka beli untukku.
Tapi, mereka lebih sering membayarku dengan dinner.
Aku cukup menikmati pekerjaan sampingan ini. Selain karena bisa membantu mereka,
aku juga bisa kembali mengakrabkan diri dengan Adam. Dia tidak berubah. Dia
tetaplah Adam yang cool sama saat
sewaktu kita SD—di mataku.
“Ngomong-ngomong, besok kita akan
meliput Tanah Lot, kan?” kata Andi setelah menyelesaikan makan malamnya. Aku
tidak menjawab karena masih sibuk dengan malamku. Kulihat Adam hanya menjawab
dengan anggukan. “Kudengar, disana ada cerita yang cukup terkenal meskipun lagi-lagi
masih berhubungan dengan persebaran agama Hindu-Budha di Bali.”
“Tempat itu adalah tempat terakhir
yang akan kita liput. Lusa kita sudah harus meninggalkan Bali.” kata Adam
menanggapi Andi. Kami terdiam sejenak. Aku tahu pasti akan sangat berat harus
berpisah dengan mereka setelah selama dua minggu penuh menghabiskan waktu yang
menyenangkan bersama. Tapi, tidak ada yang bisa kami lakukan.
“Yaah, setidaknya, besok kita harus
membuat kenangan, bukan? Lagipula, kita pasti akan bertemu lagi di tempat yang
berbeda.” kataku riang mencoba memberi suasana cerah. Mereka berdua tersenyum.
“Aku kangen memakan mpek-mpek dengan kalian saat kita masih
di Palembang.” kata Andi mengingat masa lalu. Aku mengangguk-angguk setuju.
Benar. Kami dulu yang masih lugu sering sekali membeli mpek-mpek saat sepulang sekolah bersama teman-teman yang lain.
Rindu sekali rasanya kalau mengingat masa itu. Di Bali, jarang sekali kami
menjumpai makanan khas Palembang itu. Meskipun, saat rekreasi ke Yogyakarta,
cukup banyak pedagang kaki lima yang menjualnya.
******************
Malam ini, kami sengaja menyewa dua
kamar vila dekat Tanah Lot setelah menyelesaikan wawancara terakhir dengan
masyarakat sekitar. Kami berniat untuk menghabiskan satu malam terakhir sebelum
Andi dan Adam meninggalkan Bali esok paginya. Andi berpamitan ingin membeli beberapa souvenir khas Tanah Lot untuk
kenang-kenangan dan meninggalkanku berdua dengan Adam. Kami duduk santai di
taman depan vila sambil memandang bulan yang kebetulan terlihat penuh malam
ini. Keheningan melanda kami berdua.
“Aku masih menyimpannya,” Adam memecah
keheningan. Aku melihatnya heran. “Suratmu.”
Mendengar
itu, seketika jantungku terasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Namun,
aku mencoba mengontrol emosiku. Aku tetap terdiam, membiarkan Adam
menyelesaikan kalimatnya.
“Maaf, dulu aku terlalu pengecut
untuk mengatakan barang sepatah kata padamu.” lanjutnya masih dengan melihat
bulan.
“Tidak apa-apa.” balasku setelah
cukup lama tidak merespon.
“Setelah ini…kami berencana
mengunjungi Sulawesi dan Papua. Mungkin, akan membutuhkan waktu cukup lama
sampai kami selesai menyelesaikannya.” kata Adam.
“Berapa lama?”
“Entahlah. Tapi, kami mengira
sekitar tiga tahun atau lebih.” Aku terdiam. Itu lama sekali. “Setelahnya, kami
akan kembali ke Palembang. Andi akan melanjutkan bisnis trevel ayahnya dan aku
akan mencoba mendirikan perusahaan majalah sendiri.” Aku tidak menjawab.
“Boleh aku bertanya?” kata Adam mulai
mengalihkan pandangannya dari bulan kepadaku. Aku mengangguk.
“Apakah perasaanmu masih sama?
Apakah kau masih menyukaiku sama seperti waktu kita SD dulu?” Pertanyaan
langsung dari Adam itu memaksaku untuk tetap diam. Aku tidak tahu harus
menjawab apa. Namun, Adam menunggu respon dariku.
“Entahlah.”
Setelah satu kata yang kuucapkan
itu, Andi kembali dengan membawa dua tas belanja besar. Dia terlihat bahagia
bisa membeli barang-barang itu. Aku dan Adam terpaksa harus menahan diri untuk
melanjutkan pembicaraan kami yang tanpa hasil.
**********************
Pukul 09.00 WITA aku mengantar Andi
dan Adam yang akan menuju Sulawesi. Dari ruang tunggu Bandara Internasional
Ngurah Rai, aku melihat Andi yang lagi-lagi membeli barang-barang sebagai
kenang-kenangan dari Bali. Di tempat lain, Adam masih sibuk mengantri untuk
menukarkan tiket. Aku pasti akan merindukan mereka berdua, terutama Adam. Aku
masih belum memberikan jawaban atas pertanyaannya kemarin. Pagi ini pun, seusai
check out dari vila, kami sama sekali
tidak mengobrol. Aku mengerti, kami sama-sama canggung, sama-sama pengecut.
Beberapa menit setelah Adam
menukarkan tiket, panggilan untuk penumpang agar segera memasuki pesawat terdengar
melalui sound speaker. Aku melihat ke arah Andi yang sudah berjalan menuju kami.
“Jaga dirimu baik-baik.” kata Andi
padaku. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. Sebuah gantungan kunci
berbentuk kepala kucing. Aku menerimanya dengan senang hati. Ternyata, dia
masih ingat kalau aku sangat suka kucing dan selalu heboh ketika ada kucing
masuk ke kelas saat kita masih SD.
“Terima kasih. Aku pasti akan
menyimpan ini. Kalian juga harus menjaga diri baik-baik. Kita pasti akan
bertemu lagi.” Andi dan Adam menjawab dengan anggukan.
“Jaga dirimu, Siska.” kata Adam. Aku
melihat matanya. Rasanya, ada sesuatu di sana. Tapi, aku tidak tahu apa itu. Setelah
beberapa menit saling mengucapkan selamat tinggal, Andi dan Adam berjalan ke
tempat orang-orang akan menaiki pesawat sambil membawa masing-masing satu koper
besar. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Rasanya, ada yang tertinggal. Ada
sesuatu yang ganjil. Terutama saat aku melihat punggung Adam. Aku ingin
mengatakan sesuatu padanya, tapi tidak yakin kalau aku mempunyai cukup rasa
percaya diri. Waktu berlalu dan Adam semakin menjauh. Aku menggigit bibirku.
Niatku mantab. Kali ini, aku harus menyampaikannya—bagaimanapun juga. Aku
berlari mengejarnya. Beruntung, Adam menyadari derap langkahku dan menoleh
serta berhenti menungguku.
“Masih ada…perasaan yang kurasakan
padamu saat kita SD dahulu masih ada. Masih sama.” ucapku di sela-sela nafasku
yang memburu. Adam melihat mataku. “Aku masih menyukaimu, merindukanmu.”
lanjutku tidak berani memandangnya lagi. Tetapi, tangan Adam yang besar meraih
tengkuk-ku sehingga aku bisa mengangkat wajah melihat ke dalam matanya.
“Tunggu aku. Kali ini, aku akan
kembali untukmu.” Adam mengatakan itu dengan nada yang lembut dan matanya yang
memandang mataku dalam. Aku mencubit kedua pipinya dan membuat Adam mengaduh.
Aku bisa melihat Andi di belakang yang tersenyum mengamati kami. Aku melepaskan
cubitanku dan menunduk dengan tanganku beralih memegang kerah kemejanya.
“Kau pikir sudah berapa tahun aku
selalu menunggumu?” gumamku pelan. Namun aku yakin Adam masih bisa mendengarku.
Adam mengangkat wajahku—lagi. Dia
tersenyum. Satu detik setelahnya Adam memelukku. Itu adalah pertama kalinya
dalam hidupku aku merasakan pelukan yang hangat, nyaman dan menentramkan. Aku
menutup mata. Adam membisikkan sesuatu di telingaku lalu melepas pelukannya dan
berjalan menjauh tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tak apa. Pelukan serta
bisikan itu sudah mewakili seluruh perasaannya. Aku terus melihat punggungnya
sampai akhirnya hilang tertutup kerumunan orang. Aku tahu tiga tahun bukan
waktu yang singkat. Tapi, kumohon, Tuhan, jagalah raga dan perasaan kami berdua
sampai waktunya tiba bagi kami untuk saling bersatu. Aku akan terus
menantikannya. Ragaku akan menyimpan rasa dari pelukan itu dan ingatanku akan
menyimpan tiga kata yang dia bisikkan.
“Aku pasti meminangmu.”
******END******
0 komentar:
Posting Komentar